SELAMAT DATANG DI BIRU LAUTKU

Menyelamatkan Kita Sebagai Archipelagic State Terbesar di Dunia

PERMASALAHAN JEMBATAN SURABAYA-MADURA (JSS)

Diposting oleh Rendra Eka A, S.T Sabtu, 17 Oktober 2009 1 komentar



Oleh : Ir. Daniel M.Rosyid, Phd.MRINA
Dosen T.Kelautan ITS Surabaya
PENDAHULUAN

            Ada tiga alasan mendasar mengapa JSS adalah sebuah mega-mubazir, blunder teknologi, dan ekonomi regional untuk “menghubungkan” Jawa-Sumatra. Alasan pertama, secara paradigmatik, JSS adalah turunan paradigma pulau besar yang memandang laut dan selat sebagai pemisah, atau paling tidak semacam sungai besar. Manusia pulau besar cenderung memaksakan kudanya (untuk zaman sekarang adalah mobilnya) untuk menyeberang. Paradigma kepulauan memandang laut dan selat justru sebagai penghubung (jembatan) alamiah, sedangkan kapal adalah alat angkut yang cocok untuk memanfaatkan daya dukung air laut tersebut bagi muatan yang diangkut kapal-kapal tersebut..

            Alasan kedua, secara topologi, jembatan hanya solusi jarak terpendek bagi concave landmass domain yang lahir dari cara berpikir pulau besar. Untuk negara kepulauan, dengan ruang topologi yang jauh berbeda, satu jembatan justru membentuk artificial concave landmass domain yang problematik karena justru menurunkan connectedness-nya. Artinya, kehadiran jembatan justru menuntut adanya jembatan tambahan agar connectedness kedua pulau dapat dipertahankan.

            Solusinya adalah paradigma kepulauan yang membuka relaxed design domain tanpa mengubah ruang topologi landmass yang sudah ada. Solusi untuk relaxed design domain itu adalah kapal (penyeberangan/ferry), yang teknologi generasi terkininya sudah tersedia dan well-proven. Air laut bersama sistem ferry canggih ini membentuk jembatan alamiah dalam jumlah tak-terbatas sehingga mempertahankan connectedness kedua pulau.


ANALISIS TEKNOMIK

Alasan ketiga adalah alasan-alasan teknomik berikut. Satu Jembatan yang menghubungkan dua pulau, karena concavity permanen yang terbentuk oleh jembatan ini, hanya akan menguntungkan kawasan kaki-kaki jembatan saja. Para spekulan tanah dan tuan tanah yang menguasai kawasan kaki jembatan akan paling diuntungkan. Solusi ferry (maju) boleh dikatakan membentuk concavity yang lentur dan dinamik. Artinya, sistem layanan penyeberangan (ferry ro-ro dan demaga) dan pelayaran yang canggih dapat menghubungkan Jawa dan Sumatra di banyak lintasan sehingga Sumatra secara menyeluruh akan memperoleh manfaat yang jauh lebih besar daripada JSS yang akan menguntungkan Lampung dan Banten saja. Kondisi jaringan Trans Sumatra saat ini yang buruk juga akan mengurangi manfaat JSS bagi integrasi pasar di Pulau Sumatra.

Memaksakan truck, atau mobil untuk melintasi Selat Sunda dapat tetap dilakukan dengan jauh lebih efisien dengan kapal ferry yang lebih baik dari layanan ferry yang ada saat ini. Air laut Selat Sunda telah membuat kontur sea-bed Selat Sunda yang kompleks penuh patahan dan palung menjadi tidak relevan, bukan bagi truck atau mobil, tapi bagi kapal ferry. Bagi penumpang, kapal ferry ini adalah jembatan sekaligus mobil/trucknya. Air laut yang tersedia tanpa dibeli, karena sunnatullah mampu mendukung beban muatan yang diangkut truck/mobil, dsb berapapun banyaknya dengan menggunakan kapal-kapal dengan desain dan besar armada yang tepat. Air laut bersama sistem ferry maju yang tepat akan menjadi jembatan penghubung yang very-cost effective . dengan investasi 10% JSS saja dan dapat disediakan dalam waktu 3-4 tahun saja,

JSS adalah highly constrained solution karena JSS merupakan kelanjutan kebijakan transportasi yang keliru saat ini yang berat moda-jalan (mobil, sepeda motor, truck, dan bis) individual/privat yang tidak efisien, polutif, dan meningkatkan ketergantungan pada BBM. Situasi uni-modality saat ini sudah sangat kritis. Indonesia akan semakin terjebak dalam single-mode trap berkepanjangan yang hanya menguntungkan industri mobil (yang masih diimpor). JSS justru akan memberi insentif bagi ketergantungan Indonesia pada moda transport yang buruk ini. Lebih berbahaya lagi adalah bahwa JSS merupakan highly constrained solution dan pengalih perhatian publik oleh Pemerintah yang telah gagal membangun pemerintahan yang efektif di laut –sebagaimana amanat konstitusi yang sudah diamandemen- yang justru merupakan kunci penyelesaian banyak masalah di Indonesia saat ini sebagai negara kepulauan yang berciri Nusantara.

PERBANDINGAN EMPIRIK BEBERAPA MEGA-PROYEK

JSS sebagai teknologi yang melawan kondisi alamiah Selat Sunda akan harus dibayar dengan mahal sekali yang kemungkinan besar tidak akan pernah terpikul oleh kapasitas fiskal nasional kita dalam waktu 10 tahun lebih ke depan. Perkiraan biaya pembangunan JSS yang diumumkan saat ini adalah Rp. 120T. Berdasarkan pengalaman Jembatan Suramadu dengan panjang 5km saja dan bentang terpanjang hanya sekitar 500m, biayanya membengkak menjadi Rp. 5T dan waktu pembangunannya molor 1 tahun lebih dengan soft loan dari Cina untuk bentang tengahnya. Dari pengalaman Jembatan Suramadu ini, biaya JSS yang 30km dapat mencapai Rp. 180T atau lebih karena harus lebih lebar (6 lajur ), lebih tebal (untuk mengakomodasi track kereta api dan bentang yang jauh lebih panjang), dan pylon (menara) penyangganya lebih tinggi, dan lebih dalam di lingkungan yang secara tektonik dan vulkanik amat aktif. Hubungan antara panjang (bentang) jembatan dan harga pembangunanya jelas bukan linier sederhana, namun paling tidak kuadratik, atau bahkan kubik.

Segmen JSS yang terpanjang akan menuntut bentang suspension bridge yang terlalu panjang (sekitar 3500m) bagi teknologi jembatan yang kita kenal secara global saat ini. Jembatan terpanjang saat ini adalah Jembatan Akashi-Kaikyo di Jepang yang menghubungkan Kobe di Pulau Honshu dan pulau Awaji. Panjang bentangnya 1991m, dan panjang total “hanya” 3911m, clearance 66m, dibangun selama 12 tahun (1986-1998). Sekarang jembatan ini menampung traffic 23000 mobil/hari, dengan tariff toll mencapai Y 2300 (sekitar Rp. 250.000). Jembatan ini tidak mengakomodasi kereta api.

Sementara itu, desain JSS harus mengakomodasi syarat-syarat Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI 1) sebagai sebuah kesepakatan internasional (United Nation Convention on the Law of the Sea -UNCLOS) yang telah kita ratifikasi. Karena kontur sea-bed yang rumit dengan kedalaman yang bervariasi dari -40m hingga -80m lebih, peluang terjadinya ground acceleration hingga 0,3g akibat gempa tektonik, serta ancaman erupsi vulkanik Krakatau, maka rancangbangun dan pembangunan JSS akan amat mahal bagi kemampuan fiskal nasional RI hingga 10-20 tahun ke depan. Sistem keuangan global yang belum stabil, serta harga baja dan beton yang dapat dipastikan akan terus naik, akan meningkatkan kerentanan pembiayaan JSS dari ancaman financial shocks selama masa konstruksinya yang diperkirakan selama 10 tahun. Kita boleh berharap, masa konstruksi JSS akan molor lebih lama dari yang direncanakan.

Sementara itu, Jembatan Messina yang menghubungkan mainland Italia (Calabria) dengan Messina di pulau Sicilia dibatalkan pembangunannya pada tahun 2006 setelah terjadi debat dan kontroversi bertahun-tahun antara Pemerintah, parlemen, dan masyarakat mainland Italia maupun kelompok-kelompok nasionalis Sicilia. Bentang tengah jembatan ini akan menjadi yang terpanjang nomor dua di dunia (setelah JSS), yaitu sepanjang 3300m, clearance 65m, dan tinggi pylon mencapai 383m ! Biaya yang direncanakan adalah sebesar Euro 6,1M, atau sekitar Rp. 70T. Pemerintah Italia (sebelum PM Berlusconni) membatalkan rencana ini karena memandang perbaikan prasarana jalan di P. Sisilia sendiri jauh lebih bermanfaat bagi ekonomi regional Italia sementara ada kekhawatiran yang luas bahwa dana Triliunan Lira akan jatuh ke tangan organisasi kriminal Cosa Nostra dan Ndranghetta.

Banyak proyek-proyek besar di negara-negara maju dan kaya (dengan disiplin waktu dan kapasitas fiskal yang jauh lebih baik dari Indonesia) selalu berakhir dengan cost-over run dan keterlambatan. 2 contoh proyek mercun suar ini adalah the Sydney Opera House dan the Millenium Dome di London. Sementara itu, terowongan Eropa (Eurotunnel) yang menghubungkan Dover-Calais di bawah English Channel berpanjang 50 km diselesaikan dalam waktu 8 tahun (1986-1994), membengkak biayanya hampir 2 kali lipat (dari perkiraan awal GBP 2600M menjadi GBP 4650M, senilai Rp. 500T!), dan manfaat ekonomi regionalnya amat terbatas, terutama bagi Inggris. Bahkan dilaporkan kondisi Inggris akan jauh lebih baik saat ini jika terowongan ini tidak pernah dibangun sama sekali. Investor-Operator terowongan yang bekerja dengan pola BOOT (Build-Own-Operate-Transfer) mengalami kerugian dan hampir bangkrut karena proyeksi traffic tidak seperti yang diramalkan, dan beberapa kali penutupan terowongan akibat kebakaran di dalam terowongan. Dampak lingkungan terowongan ini juga terbukti negatif.

PERBANDINGAN SOLUSI (Benefit/Cost)

Di tingkat teknomik, JSS jelas-jelas inferiror dibanding sistem ferry maju. Dari perbandingan di atas terlihat bahwa solusi Ferry maju memberikan Benefit/cost ratio yang paling baik, terutama menghindarkan Indonesia dari jebakan uni-modaliity yang tidak efisien dan polutif, serta privat sehingga secara umum tidak sustainable. Dapat dilihat bahwa paradigma kepulauan membuka sebuah relaxed design solution yang lebih cost-effective berupa armada dan dermaga ferry maju dengan beban pembiayaan yang lebih ringan dan adil bagi mayoritas daerah/kawasan di Indonesia. Secara topologi, solusi sistem ferry membentuk ruang Jawa-Sumatra yang lebih compact dan well-connected. Sebagai perbandingan adalah sistem ferry Yunani untuk kawasan Agean Sea yang sangat luar biasa untuk ekonomi dan pariwisata Yunani. Pariwisata Selat Sunda jelas akan terbangun baik justru dengan sistem ferry maju, bukan dengan JSS.

Tahapan pemilihan konsep merupakan tahapan amat penting dan berdampak jangka panjang, namun dengan informasi yang bersifat kualitatif dan terbatas. Dari analisis kualitatif,dan konseptual di atas, dapat disajikan sebuah tabel perbandingan atas berbagai solusi untuk menghubungkan Jawa-Sumatra sebagai berikut :


PENUTUP DAN KESIMPULAN

Solusi JSS dengan demikian merupakan solusi yang tidak layak. Anggaran yang tersedia dari kapasitas fiskal yang terbatas dapat dipakai untuk meningkatkan cakupan dan mutu Trans-Sumatra sehingga integrasi pasar domestik di Sumatra dapat diwujudkan dengan biaya yang jauh lebih murah, terutama yang berbasis rel (kereta api), bukan toll road, hingga ke pelabuhan-pelabuhan. Pengembangan infrastruktur serupa bagi pantura Pulau Jawa akan memberi dampak ekonomi regional yang amat signifikan.

Kebijakan yang dihasilkan dari cara pandang benua/pulau besar yang tidak bersahabat dengan taqdir alamiah kita sebagai Negara kepulauan akan berpotensi selalu memaksakan solusi moda-tunggal jembatan untuk Indonesia yang kepulauan ini. Yang paling diuntungkan dengan solusi jembatan adalah para spekulan dan tuan tanah yang menguasai lahan di kawasan kaki-kaki jembatan. Jika cara pandang ini dipertahankan terus, kita boleh khawatir bahwa agenda untuk mempromosikan infrastruktur multi-moda dengan membangun pemerintahan di laut yang efektif akan semakin terbelakangkan. Dengan kondisi uni-modality yang semakin kritis saat ini, dan sumberdaya kepulauan yang terbengkalai, kita tidak saja tidak memiliki masa depan, keutuhan negara-bangsa ini juga dipertaruhkan.

Response to "PERMASALAHAN JEMBATAN SURABAYA-MADURA (JSS)"

  1. Unknown Says:

    Tulisan ini sangat menarik, hanya judulnya perlu diperbaiki.. seharusnya Jembatan Selat Sunda, bukan Jembatan Surabaya-Madura. Terima kasih

Leave a Reply

Jumlah Pengunjung

free counters

Followers

Kembalikan Lautku

Kembalikan Lautku

My News